prinsip – prinsip vaksin dan hypersensitive

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.
Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralisir patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada eukariota kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen.[1] Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih efektif selama pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima adalah basis dari vaksinasi.
Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang, membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetik, seperti severe combined immunodeficiency, atau diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Penyakit autoimun menyebabkan sistem imun yang hiperaktif menyerang jaringan normal seperti jaringan tersebut merupakan benda asing. Penyakit autoimun yang umum termasuk rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan lupus erythematosus. Peran penting imunologi tersebut pada kesehatan dan penyakit adalah bagian dari penelitian.

drugPerkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan, maupun pencegahan telah menimbulkan berbagai reaksi obat yang tidak diinginkan yang disebut reaksi adversi. Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat membawa maut. Hiperkalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin, dan reaksi anafilaktik merupakan contoh reaksi adversi yang potensial sangat berbahaya. Gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin merupakan contoh lain reaksi adversi obat yang ringan. Karena pada umumnya adversi obat dan pada khususnya alergi obat sering terjadi dalam klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan masalah tersebut amat penting untuk diketahui.

Insidensi

Insidensi reaksi adversi obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa reaksi adversi obat yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 6-15%. Angka insidensi di luar rumah sakit biasanya kecil, karena kasus-kasus tersebut bila ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat merupakan 6-10% dari reaksi adversi obat. Di masyarakat nilai ini berkisar 1-3% tetapi mungkin angka ini lebih kecil lagi, mengingat idiosinkrasi dan intoleransi obat sering dilaporkan sebagai reaksi alergi obat.

Klasifikasi Reaksi Adversi

A.  Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal.
  1. Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung berhubungan dengan pemberian dosis yang berlebihan. Contoh : depresi pemapasan karena obat sedatif.
  2. Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek mengantuk pada pemakaian antihistamin.
  3. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan dengan efek farmakologis primer suatu obat.
  4. Contoh: penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik (reaksi Jarisch-Herxheimer)
  5. Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi metabolisme obat lain.
B.  Reaksi adversi pada orang-orang yang sensitif.
  1. Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.
  2. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin yang menyebabkan anemia hemolitik.
  3. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat merupakan sebagian dari reaksi adversi.
  4. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu tejadinya keadaan yang menyerupai reaksi tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (lgE independenf). Beberapa obat seperti opiat, vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras (pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator (seperti tipe I). Proses di atas tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu (non-imunologis).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (Tipe I s/d IV). Untuk memudahkan pengertian patogenesis dan pengobatannya, dalam makalah im digunakan klasifikasi Gell dan Coombs.

Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat)

Manifestasi klinis yang tejadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos. meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus.
  • Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus. disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas.
  • Urtikaria.
  • Angioedema.
  • Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
  1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE.
  2. Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi.
  3. Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat penglepasan mediator.

Tipe II

Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena terbentuknya IgM / IgG oleh paparan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptro komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

Tipe III

Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
  1. Urtikaria. angioedema, eritema. makulopapula, eritema multiforme, dan lain-Iaih. Gejala tersebut sering disertai pruritus.
  2. Demam.
  3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi.
  4. Limfadenopati.
  5. Lain-Iain :
  • kejang perut, mual
  • neuritis optik
  • glomerulonefritis
  • sindrom lupus eritematosus sistemik
  • gejala vaskulitis lain
Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.

Tipe lV

Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respons sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity) :
  1. Cutaneous Basophil Hypersensitivity
  2. Hipersensitivitas kontak (contact Dermatitis)
  3. Reaksi tuberkulin
  4. Reaksi granuloma
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi alergi obat.
Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24 jam setelah obat dioleskan.

Diagnosis

1. Anamnesis

Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasarnya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :
  1. Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat.
  2. Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi.
  1. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7-10 hari setelah pemakaian pertama.
  1. Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral.
  2. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu.
  3. Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
  4. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.

2. Uji kulit

Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, antara lain :
  1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
  2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false positive).
  3. Konsentrasi obat terlalu tinggi,  juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.
Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diketahui sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patch test) untuk menilai reaksi alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe IV).

3. Pemeriksaan laboratorium

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit (karena seluruh kulit rusak, minum antihistamin dan kulit tidak sensitif lagi).
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III. Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak memuaskan. Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan pemakaian obat masa depan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Identifikasi dan penatalaksanaan reaksi alergi obat
Tipe reaksi
Karakteristik klinik
Uji laboratoirum
Penggunaan obat selanjutnya
Gell and Coombs
Tipe 1


Gell and Commbs
Tipe 2

Gell and Coombs
Tipe 3


Gell and Coombs
Tipe 4
Morbilliform


Eritema multiforme
Steven-Johnson/TEN



Anafilaktoid





HSS/DRESS
Urtikaria, angioedema, mengi, hipotensi, nausea, muntah, nyeri abdomen, diare
Anemia hemolitik, granulositopenia, trombositopenia
Demam, urtikaria, arthralgia, limfadenopati 2-21 hari sesudah  mulai terapi
Eritema, blister (kulit melepuh)
Ruam makulo popular (dapat bergabung)

Lesi sasaran tertentu
Lesi sasaran, keterlibatan membran mukosa, deskuamasi kulit
Utikaria, mengi, angioedema, hipotensi




Dermatitis, eksfoliativa, demam, limfadenopati
Uji kulit, uji radio-alergosorben


Darah perifer lengkap (DPL)

Kadar komplemen



Uji tempel

Mungkin uji tempel, uji kulit intradermal (reaksi lambat)
Tidak ada
Tidak ada



Tidak ada





DPL, enzim hati, kreatinin, urinalisis
Desensitisasi



Indikasi kontra


Indikasi kontra



Agaknya Indikasi kontra
Pemakaian hati-hati

Indikasi kontra
Indikasi kontra



Pencegahan dengan prednison dan antihistamin untuk sensitivitas terhadap radiokontras
Indikasi kontra

HS : Hypersensitivity Syndrome, DRESS : Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptom

Pengobatan

Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus imunokimianya berlainan.
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain. Apapun penyebabnya pengobatannya lebih kurang sama.
Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus dirawat, karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.
Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis, dibicarakan tersendiri pada bab anafilaksis. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-Iain diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.

Pencegahan

Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30 kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang mempunyai indikasi yang jelas.
Jika sudah tepat indikasinya. barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat yang sebenarnya kurang masuk akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dengan sefalosporin, gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan sulfonilurea.
Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun tetap harus berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan, dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desensitisasi (Gambar 1 ).
Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko yang kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat untuk melakukannya.
  1. Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain.
  2. Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta untung ruginya.
  3. Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk menanggulangi keadaan darurat.
  4. Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman.
  5. Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai dengan rute pemberian yang akan diberikan.
  6. Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan bila terjadi keadaan darurat.
  7. Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan menunggu berhari-hari kemudian obat baru diberikan, karena uji kulit sendiri menimbulkan sensitisasi.
Prinsip uji provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat kecil, kemudian dinaikkan perlahan-Iahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun uji provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada uji provokasi tidak selalu tejadi desensitisasi karena sensitisasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus diulangi kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaktik.
Di bawah ini diberikan contoh uji provokasi dengan anestesi lokal (TabeI 2).
Tabel 2. Uji provokasi dengan anesujii lokal
(dikulip dari J Allergy Cllin Immunol1978; 61:339)
Urutan
No.
Rute
Dosis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
uji tusuk
uji tusuk
intrakutan
intrakutan
subkutan
subkutan
1 : 100 (pengenceran)
tidak diencerkan
0,02 mL larutan 1 : 100
0,02 mL tidak diencerkan
0, 1 mL tidak diencerkan
1 mL tidak diencerkan

Catatan :
-Larutan obat tidak mengandung epinefrin
-Urutan no: 1 dan 3 boleh dilewatkan bila riwayat penyakit tak jelas.

Riwayat alergi obat
Adakah obat alternatif yang efektif
Ada
Tidak ada
Obati dengan obat alternatif
Uji kulit atau laboratorium
(tersedia dan dapat dipercaya)
YA
TIDAK
Uji
Uji provokasi
Negatif
Positif
Negatif
Berikan obat hati-hati
Desensitisasi
atau
pikirkan kembali
alternatif yang lain
Teruskan pengobatan

Gambar 1. Skema pencegahan reaksi alergi obat

Frekuensi alergi obat ternyata tidak banyak berbeda antara pasien yang atopi dan non atopi, tetapi pasien yang mempunyai riwayat penyakit alergi tipe I (atopi) seperti asma alergik, rinitis alergik, atau eksim, lebih besar 3 sampai 10 kali kemungkinannya untuk mendapat reaksi anafilaksis.
Kalau mungkin obat sebaiknya diberikan secara oral, karena selain jarang menimbulkan reaksi alergi, juga paling kecil menimbulkan sensitisasi. Tetapi bila pasien sudah jelas mempunyai riwayat alergi obat, tentu obat tadi tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien yang pernah mendapat reaksi anafilaktik. Pemberian obat topikal seperti antibiotik, anesujii lokal dan antihistamin paling besar kemungkinannya menimbulkan sensitisasi, sehingga pemberian obat secara topikal harus dihindari.
Di samping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilaktik, sebelum menyuntik sebaiknya disediakan dulu obat-obat untuk menanggulangi keadaan darurat alergik. Obat-obat tersebut adalah adrenalin, antihistamin, kortikosteroid, aminofilin, dan diazepam yang semuanya dalam bentuk suntikan. Begitu pula setelah disuntik, pasien diminta menunggu paling tidak 20 menit sebelum diperbolehkan pulang. Selain perawat dan petugas kesehatan yang membantu dokter, pasien juga sebaiknya diberitahu mengenai tanda-tanda dini reaksi anafilaktik, sehingga bila terjadi reaksi, mereka dapat segera memberitahukan kepada kita.
Peran obat-obat anti alergi seperti antihistamin, kortikosteroid, dan bahkan simpatomimetik dalam upaya mencegah reaksi alergi ternyata masih kontroversial. Obat-obat tersebut diberikan sebelum atau bersama-sama obat yang diindikasikan. Mungkin obat-obat tadi dapat diandalkan untuk mencegah reaksi yang ringan, tetapi tidak dapat diandalkan untuk mencegah reaksi yang fatal. Lagi pula bila reaksi ringan yang biasanya merupakan gejala dini reaksi yang hebat dihilangkan, di rumah atau di tempat lain yang jauh dari fasilitas kesehatan, tiba-tiba pasien bisa mendapat reaksi alergi yang hebat. Sedangkan kalau hal tersebut terjadi di rumah sakit atau di tempat kita, mungkin pertolongan sementara dapat diberikan.
Pasien perlu diberikan penyuluhan. Pasien harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya, termasuk obat yang diberikan dalam bentuk campuran dengan obat yang lain. Metampiron, misalnya, banyak terdapat pada berbagai obat baik sebagai obat analgesik maupun sebagai antipiretik atau campuran analgetik spasmolitik. Bila berobat ke dokter, pasien hendaknya memberitahukan kepada dokter yang dikunjunginya perihal obat yang pemah menyebabkan reaksi alergi, agar dokter dapat membuat catatan khusus di kartu berobat pasien.